Minggu, 17 Oktober 2010

Resiliensi dan Kehamilan Tidak diinginkan

Perubahan zaman  menyebabkan remaja Indonesia mengalami perubahan sosial yang cepat dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern, yang mengubah norma-norma, nilai-nilai dan gaya hidup remaja. Dewasa ini, remaja Indonesia lebih bertoleransi terhadap gaya hidup seksual pranikah. Dahulu remaja terjaga secara kuat oleh sistem keluarga, adat budaya serta nilai-nilai tradisional yang ada, namun, saat ini nilai-nilai tersebut mengalami pengikisan yang disebabkan oleh urbanisasi dan industrialisasi yang cepat. Hal ini diikuti pula oleh adanya revolusi media atau perkembangan teknologi yang terbuka bagi keragaman gaya hidup dan pilihan karir (Shaluhiyah, 2006)
Dampak negatif dari perkembangan teknologi membuat seks tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang sakral. Penemuan alat kontrasepsi oleh Amerika Serikat memicu revolusi seks ditahun 1960-an. Paradigma pun berubah. Imbasnya juga dirasakan di Indonesia. Perubahan pandangan terhadap seksualitas di Indonesia terjadi sejak awal tahun 1980-an. Hal ini juga mengakibatkan perubahan dalam perilaku seksual termasuk dikalangan remaja. Pola pergaulan menjadi semakin bebas yang didukung oleh fasilitas, aktivitas seksual bahkan mudah berlanjut menjadi hubungan seksual.
Mahmudah (2000) menyatakan bahwa remaja mendapat pengetahuan reproduksi dari media cetak dan elektronika, teman sebaya, serta pergaulan sosial, yang belum jelas kebenarannya. Sumber informasi mengenai kesehatan reproduksi yang paling besar diperoleh dari media massa (70%). Orang tua kurang berperan dalam memberikan pendidikan kesehatan reproduksi (45%). Ironisnya, disisi lain remaja tidak menerima pendidikan seks yang benar dan bertanggung jawab atau pengetahuan yang rendah mengenai masalah kesehatan reproduksi yang sehat, sehingga timbul akibat buruk yaitu adanya penularan penyakit menular seksual (PMS) termasuk AIDS, kehamilan pranikah, kehamilan tidak diinginkan, yang akan membawa dampak  buruk lainnya (Soejoeti, 2001).
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial (B2P3KS) dan Departemen Sosial Republik Indonesia (Depsos RI) melakukan penelitian ilmiah disebuah kota di Pulau Jawa. Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui perkembangan kasus-kasus kehamilan tidak diinginkan dikalangan remaja (usia 10-24 tahun). Outcome penelitian menunjukkan bahwa tahun 2002-2005, remaja yang mengalami kehamilan tidak diinginkan terbanyak adalah remaja yang memiliki pendidikan perguruan tinggi atau mahasiswi (59,22 %), remaja yang berpendidikan SMU (17,70 %) dan yang paling sedikit adalah remaja SMP (1,63 %). Secara keseluruhan, remaja yang hamil di luar nikah terbesar terjadi pada tahun 2002 (640 kasus). Kemudian tahun 2004 sebanyak 560 kasus dan tahun 2005 (551 kasus) (Yudarsana, 2008).
Berbicara tentang kehamilan yang tidak diinginkan menurut  Friedman  (1998) mempunyai dampak meliputi 3 aspek: pertama dampak sosial yaitu: malu karena kehamilannya dikatakan aib, terasing dari keluarga dan masyarakat, terpaksa harus keluar dari sekolah, terganggunya perekonomian  keluarga karena kehamilan  dan persalinan yang tidak dipersiapkan. Kedua, dampak medis yaitu pengguguran yang dapat mengancam jiwa, meningkatnya faktor resiko tinggi pada kehamilan  dan persalinan, misalnya pre-eklampsia, panggul sempit, cacat janin, perdarahan dan gangguan masa nifas. Ketiga,  dampak psikologis  yaitu: putus asa  karena kehamilannya  mungkin mempengaruhi pendidikan, rencana karier, atau situasi ekonominya, kecemasan dalam menghadapi kehamilan, persalinan dan masa depannya, depresi, gangguan psikologis yang sangat berbahaya, marah pada diri sendiri, pada pasangan atau orang yang menyebabkan kehamilannya, malu dan merasa bersalah.
Badan Kesehatan Dunia memperkirakan bahwa dari 200 juta kehamilan pertahun, 38 persen diantaranya merupakan kehamilan tidak diinginkan. Dua pertiga perempuan dengan kehamilan yang tidak diinginkan menghentikan kehamilan dengan sengaja, 40 persen diantaranya dilakukan penghentian kehamilan dengan tidak aman yang menyumbang 50 persen kematian ibu (Mitrawacana, 2008).
Jika dilihat dari resiko  psikologi terhadap kehamilan dan persalinan pada perempuan yang hamil tidak diinginkan,  data menunjukkan  bahwa 91% perempuan yang hamil  dengan stres yang tinggi dan support yang rendah mendapatkan komplikasi pada kehamilannya berupa  partus lama, berat badan lahir rendah, lahir prematur dan kondisi kesejahteraan janin yang kurang baik (Hansell dan Mechanic, 1990). Terlepas dari dampak medis, psiko sosial dan ekonomi tersebut yang dialami oleh perempuan dengan kehamilan yang tidak diinginkan akibat seks pranikah, yang lebih penting lagi adalah apa yang harus dilakukan  perempuan tersebut yaitu:  Pertama, menjadi orang tua tunggal dengan melanjutkan kehamilan, melahirkan hingga membesarkan bayi itu sendiri. Namun, pilihan ini sangat berat karena dalam membesarkan seorang anak  diperlukan kesiapan mental, fisik dan finansial yang cukup. Kedua, memberikan bayi kepada keluarga atau orang lain yang sama sekali tidak dikenal (adopsi). Pilihan berikutnya  yang ketiga adalah aborsi. Alternatif keputusan dari beberapa pilihan ini terkait erat  atau dilatarbelakangi kepribadian seseorang, keputusan keluarga, dan keyakinan.
Selanjutnya, ada tiga sikap penerimaan dari perempuan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan yaitu: (1) segera menerima dan meneruskan kehamilan sampai melahirkan dengan wajar saja, (2) mulanya menolak, tetapi kemudian menerimanya dengan beban psikologis yang mengganggu kehamilan dan proses persalinan, dan (3) tetap menolak dan berupaya untuk tidak meneruskan kehamilan.
Beberapa kasus perempuan yang hamil tidak diinginkan ini setelah mengalami proses stres dan adaptasi akhirnya mengambil keputusan yang berat tetapi lebih terhormat dari tindakan aborsi yaitu menerima kenyataan dan meneruskan kehamilannya, melahirkan, mengasuh anaknya sendiri, atau menikah dan menjadi orang tua bagi anaknya. Sebagian dari mereka tetap mengembangkan pendidikan maupun kariernya sambil menyandang status ibu. Proses pengambilan keputusan sampai mereka dapat menerima kenyataan dan bertanggungjawab sebagai orang tua serta menjadi orang yang lebih baik disebut resiliensi.
Secara umum, resiliensi bermakna kemampuan seseorang untuk bangkit dari keterpurukan yang terjadi dalam kehidupannya. Orang-orang dengan resiliensi yang positif akan mudah untuk kembali ke keadaan normal. Orang dengan resiliensi positif mampu mengelola emosi mereka secara sehat. Tentu mereka punya hak dan berhak untuk merasa sedih, marah, merasa kehilangan, sakit hati dan tertekan. Bedanya, mereka tak membiarkan perasaan semacam itu menetap dalam waktu lama. Mereka cepat memutus perasaan yang tak tidak nyaman dan tidak sehat, kemudian justru membantunya bertumbuh menjadi orang yang lebih kuat.  Resiliensi adalah faktor penting dalam proses perkembangan psikologis untuk kembali memperbaiki keadaan dan menerima kenyataan bagi perempuan dengan kehamilan yang tidak diinginkan.
Resiliensi adalah ketrampilan yang penting untuk dikembangkan di segala sektor kehidupan. Adapun beberapa ciri utama pribadi dengan resiliensi tinggi itu berkisar pada kemampuan mempertahankan perasaan positif dan juga kesehatan serta energi. Mereka juga memiliki kemampuan memecahkan masalah yang baik, berkembangnya harga diri, konsep diri dan kepercayaan diri secara optimal. Kemampuan untuk melanjutkan hidup setelah ditimpa kemalangan atau setelah mengalami tekanan yang berat bukanlah sebuah keberuntungan, tetapi hal tersebut menggambarkan adanya kemampuan tertentu pada individu yang dikenal dengan istilah resiliensi (Tugade & Fredrikson, 2004).
Istilah resiliensi diformulasikan pertama kali oleh Block (dalam Klohnen, 1996) dengan nama ego-resilience, yang diartikan sebagai kemampuan umum yang melibatkan kemampuan penyesuaian diri yang tinggi dan luwes saat dihadapkan pada tekanan internal maupun eksternal. Secara spesifik, ego-resilience adalah: “… a personality resource that allows individual to modify their characteristic level and habitual mode of expression of ego-control as the most adaptively encounter, function in and shape their immediate and long term environmental context. (Block, dalam Klohnen, 1996).
Wolff (dalam Banaag, 2002), memandang resiliensi sebagai trait. Menurutnya, trait ini merupakan kapasitas tersembunyi yang muncul untuk melawan kehancuran individu dan melindungi individu dari segala rintangan kehidupan. Individu yang mempunyai intelegensi yang baik, mudah beradaptasi, social temperament, dan berkepribadian yang menarik pada akhirnya memberikan kontribusi secara konsisten pada penghargaan diri sendiri, kompetensi, dan perasaan bahwa ia beruntung. Individu tersebut adalah individu yang resilien. Grotberg (1995), di sisi lain menjelaskan bahwa resiliensi merupakan kapasitas yang bersifat universal dan dengan kapasitas tersebut, individu, kelompok  ataupun komunitas mampu mencegah, meminimalisir ataupun melawan pengaruh yang bisa merusak saat mereka mengalami musibah atau kemalangan.
Masten & Coatswerth (dalam Davis, 1999), mengatakan bahwa untuk mengidentifikasikan resiliensi diperlukan dua syarat, yang pertama adanya ancaman yang signifikan pada individu (ancaman berupa status high risk atau ditimpa kemalangan dan trauma yang kronis) dan yang kedua adalah kualitas adaptasi atau perkembangan individu tergolong baik (individu berperilaku dalam compotent manner). Kualitas Adaptasi sangat erat hubungannya dengan mekanisme koping seseorang (Srategi Coping).
Salah satu dukungan eksternal       untuk mendukung resiliensi yang positif dan dapat diberikan oleh pemberi pelayanan kesehatan pada saat kehamilan dan persalinan. Tenaga kesehatan  terutama tenaga pemberi pelayanan Antenatal care  dapat membantu perempuan dengan kehamilan yang tidak diinginkan agar memiliki strategi koping yang sehat, beradaptasi terhadap perubahan psikologis yang dialami selama masa kehamilan sehingga mengoutcomekan resiliensi yang tinggi dan positif.  
  Resiliensi yang positif akan berdampak pada kehamilan kehamilan  dan proses persalinan serta pengasuhan bayi yang akan dilahirkan, hal ini mengingat bahwa resiliensi merupakan salah satu faktor psikis berkaitan erat dengan bagaimaan perempuan dalam menyikapi perubahan-perubahan yang terjadi akibat adanya kehamilan. Demikian juga berdampak  pada saat menghadapi persalinan dan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi kelancaran proses kelahiran (Kartini Kartono, 1986 : 192). Sebaliknya, resiliensi yang rendah atau negatif penuh dengan kecemasan atau ketegangan, rasa tidak aman dan kekhawatiran yang timbul karena dirasakan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan berasal dari dalam (intra psikis) dapat mengakibatkan  abortus, prematur, persalinan menjadi lama/partus lama atau perpanjangan Kala II, dan kelahiran dengan Berat Badan Lahir rendah (Depkes RI Pusdiknakes).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar