Rabu, 13 Oktober 2010

Makanan slow food


MAKANAN SLOW FOOT
Berbicara mengenai makanan, fast food sebagai salah satu aktualisasi dari kepraktisan ini tentu tidak lagi menjadi sesuatu hal yang langka. Fast food seolah menjadi gaya hidup bagi kebanyakan manusia-manusia supersibuk di era globalisasi ini. Makan di rumah saja sudah tak akan sempat apalagi memasak sendiri. Tidak hanya di AS, fast food juga sudah sangat menjamur di negara-negara lain terutama di kawasan Asia. Padahal, makanan fast food umumnya mengandung garam, gula, lemak, dan kalori yang tinggi namun minim kandungan gizi. Kandungan vitamin, protein dan mineralnya pun sangat sedikit. Padahal, semua ini sangat dibutuhkan untuk kesehatan tubuh. Sekalipun gaya hidup fast food ini sangat membahayakan tubuh, masyarakat seolah tidak terlalu terpengaruh. Kesibukan bekerja menjadi alasan yang paling banyak diutarakan. Para pecandu fast food juga semakin meningkat dari tahun ke tahun. Walaupun ragam buku mengenai dampak negatif fast food pun sudah banyak bertebaran. Namun masyarakat seolah tidak terlalu terpengaruh.
Ancaman fast food menggerakan Carlo Petrini untuk mencetuskan gerakan slow food tahun 1986. Organisasi resmi dari slow food ini didirikan pada tahun 1989 bersamaan dengan pembukaan gerai fast food McDonald’s di Roma sebagai gerakan perlawanan terhadap globalisasi fast food.
Apa yang dimaksud dengan gerakan slow food? Sesuai lambang siput yang digunakan oleh organisasi ini, slow food menekankan pentingnya menikmati makanan dan memasak dengan tenang. Bumbu instan yang umumnya digunakan fast food tidak lagi diperlukan karena semua hidangan dimasak dengan tenang dari bahan-bahan alami. Sarah Febaugh, asisten direktur Slow Food USA juga mengatakan bahwa tujuan Slow Food adalah membuat acara makan menjadi lebih gembira dan mengembalikan makanan ke fungsi aslinya yaitu menjalin kebersamaan.
Gerakan slow food ini juga akan menghindarkan sistem pertanian dari eksploitasi. Tanaman buah, sayuran, dan bahan makanan lainnya, serta ternak dibiarkan tumbuh secara organik sesuai ritme alam sehingga tidak lagi memerlukan pestisida, hormon, antiobiotik, dan obat-obatan sintetis. Dampaknya, keseimbangan alam akan terjaga karena makhluk yang hidup di sekitar sistem pertanian tidak terbunuh. Selain itu, slow food juga berdampak panjang terhadap keselamatan lingkungan serta melestarikan warisan budaya makanan lokal untuk berkembang sehingga dapat merekatkan cinta kasih dalam keluarga yang kini makin terkikis oleh gaya makan ala fast food. Saat mengkonsumsi slow food, sistem pencernaan pun akan bekerja lebih normal daripada saat mengonsumsi fast food.
Masyarakat Eropa yang menganut budaya slow food mengisi waktu menanti makanan yang dimasak dengan menikmati minum anggur sambil menari salsa, dansa, menyanyi, menonton balet, dan sebagainya. Setelah makanan siap disajikan, mereka makan bersama dengan tenang, dan tidak terburu-buru agar dapat menikmati rasa dari makanan tersebut. Indonesia juga memiliki makanan slow food warisan leluhur seperti rendang dan gudeg. Dulu, gudeg dimasak dengan bahan nangka muda dicampur santan segar dari kelapa tua, dan ayam kampung ditambah dengan bumbu-bumbu. Semua dimasak dalam gentong tanah liat di atas tungku api bertemperatur tidak terlalu tinggi dalam waktu relatif lama. Gula yang digunakan adalah gula merah asli yang menghasilkan rasa manis yang khas. Rendang pun dimasak dalam waktu relatif lama agar empuk dan bumbunya meresap.
Agar dapat lebih menarik minat masyarakat dunia, organisasi Slow Food juga menyelenggarakan Slow Food Film Festival setiap tahunnya. Tujuan utama dari festival film ini adalah mempromosikan budaya makanan melalui film, film pendek, film dokumentasi, dan serial televisi yang berfokus pada isu seputar makanan. Slow Food Film Festival tahun 2008 diselenggarakan di Bologna, 7-11 Mei 2008. Pemenang dari festival film ini berhak memperoleh ‘Golden Snail’ alias Siput Emas.
Meskipun demikian, pecandu fast food tidak menjadi semakin berkurang. Catatan pemasukan McDonald seperti yang telah disinggung di bagian awal menjadi buktinya. Oleh karena itu, kunci penting dari efektivitas gerakan slow food ini berpulang pada kultur keluarga dan diri kita masing-masing. Sesekali mengonsumsi fast food tidak menjadi masalah. Menjadi masalah bila kita mengonsumsinya hampir setiap hari. Orang tua bertanggung jawab untuk membiasakan anaknya makan makanan bergizi. Kita pun dituntut memiliki kesadaran untuk melakukan pola makan sehat demi masa depan. Kesibukan hendaknya tidak selalu dijadikan sebagai pembenaran untuk terus-menerus mengonsumsi fast food, terlebih setelah kita tahu betapa besar dampak negatifnya….
Tanpa sadar banyak di antara kita sudah tergiring pada pola makan amburadul serba fast food. Selain resto, supermarket penyedia fast food siap masak seperti nugget dan drumstick makin mudah terjangkau. Wajar saja kalau anak-anak kita pun makin banyak yang mengidap penyakit akibat kebiasaan menyantap fast food. Di balik ancaman fast food, pelan tapi pasti kita makin disadarkan pentingnya kembali ke pola makan tradisional yang alami, beragam, dan lebih sehat. salah satunya oleh gerakan Slow Food.
Hasil penelitian terhadap fast food antara lain anak kegemukan (obesitas)  diabetes dan penyakit degeneratif lainnya seperti hipertensi, penyakit jantung, stroke, dan osteoporosis menjadi semakin dini, termasuk diabetes di kalangan anak-anak. Ini hanya sebagian contoh paling menonjol yang terkait kebiasaan menyantap fast food..
Berikut anjuran gerakan Slow Food.
Utamakan bahan makanan segar. Dapatkan makanan segar langsung dari petani atau berbelanja di pasar tradisional. Yang diperlukan tubuh kita adalah makanan segar yang baru dipanen atau belum lama dipanen. Bila membelinya di supermarket, sangat besar kemungkinan sayuran segar yang dibeli dipanen beberapa hari atau bahkan seminggu sebelumnya, sehingga kandungan nutrisi dan energinya telah banyak menyusut.
Upayakan mendapatkan bahan makanan organik. Bahan makanan tersebut umumnya dipanen dari tempat tinggi atau tersembunyi dan kurang populer dalam menu sehari-hari, sehingga petani tidak terdorong untuk memberinya pupuk sintetis, hormon, maupun pestisida. Contohnya duku, langsat, sirsak, lengkeng, manggis, alpukat, menteng, kedondong, kesemek, sawo, srikaya, daun melinjo, rebung, terubuk, kecipir, pucuk labu, pucuk pakis.
Lupakan bumbu instan dan MSG. Untuk menyedapkan masakan, pergunakan bumbu Asia dan sayuran tertentu, seperti bawang merah, bawang putih, bawang bombai, daun bawang, seledri, jahe, merica, wijen/minyak wijen, wortel. (Handayani)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar